Halaman

Selasa, 04 Juli 2017

[IBD] R.A. KARTINI

R.A. KARTINI


“Habis Gelap Terbitlah Terang”


A. Latar Belakang

Raden Ajeng Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di kota Rembang. Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.

Sejak kecil ia sudah di pinggit, karena akan di nikahkan, oleh karena itu setelah lulus sekolah Dasar atau ELS (Europese Lagere School), ia tidak di perboleh kan untuk melanjutkan sekolahnya.kartini sangat sedih tapi ia kemudian mulai belajar sendiri. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda.
Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903 dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Pada tanggal 13 September 1904, Kartini melahirkan puttra pertama sekaligus terakhir yang R.M. Soesalit. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.


B. Pemikiran

Kartini suka sekali menuliskan pengalaman hidupnya dalam bentuk surat maupun buku, terutama pada sebuah buku yang sangat terkenal yaitu “ Habis Gelap Terbitlah Terang”. Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).

Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.





Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..." Kartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah.

Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.

Kartini berkeinginan untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, hal ini terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini. Tapi akhirnya sekolah ke Betawi itupun tidak terwujud karena Kartini sudah akan menikah.


Menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.

C. Nilai –nilai yang terkandung dari perjuangan R.A. Kartini yang perlu kita teladani

Kartini merupakan seorang perempuan yang gigih dan pantang menyerah dalam menjalani kehidupan, meskipun sejak kecil dia tidak bisa menempuh pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi meskipun dia anak seorang priyayi atau keturunan bangsawan seperti yang kebanyakan perempuan bisa lakukan pada saat ini. Tapi itu tidak menjadikan Kartini menyerah atau putus asa tetapi dia tetap berusaha untuk dapat mendalami berbagai macam ilmu pengetahuan walaupun secara otoditak atau belajar sendiri.

Kartini merupakan perintis perubahan kaum wanita, dimana dia berusaha untuk menyamakan kedudukan agar sebanding dengan kaum laki-laki. Dia mempunyai pemikiran yang maju, cekatan dan pintar. Dia juga fasih berbahsa Belanda, selain itu ia juga pandai memsak, menjahit dan mengurus rumah tangga. Dan sangat taat dalam menerapkan ilmu agama di rumahnya. Ini yang seharusnya menjadi contoh untuk kaum wanita pada saat ini, karena hal-hal tersebut makin lama makin luntur. Walaupun hidupnya bagai di dalam sangkar emas, tapi dia tidak pernah mengeluh. Dan iu justru menjadikan Kartini semakin bersemangant untuk mengangkat derajat kaum perempuan yang saat ini sering kita sebut emansipasi wanita.

Keluarga kartini sangat memegang teguh adat istiadat. Meskipun begitu ia tetap bisa berjuang membela kaum perempuan dengan cara menulis surat atau membuat buku, yang isinya mengandung cita-cita yang luhur, terutama untuk mengangkat derajat wanita Indonesia. Dan meskipun beliau di pinggit, beliau selalu memikirkan kehidupan rakyat jelata. Ia ingin agar wanita Indonesia setara dengan pria, memiliki hak bukan hanya kewajiban dan juga bisa sejajar dengan wanita-wanita dari negara lain.


D. Pengalaman hidup penulis yang terinspirasi dari sosok R.A. Kartini

Mungkin ini merupakan pengalaman yang yang tidak hanya di alami oleh penulis saja, ini terjadi ketika terjadi gempa di Yogyakarta pada tahun 2006 silam. Pada waktu itu penulis yang tinggal di daerah Bantul , dimana kejadian itu meluluh lantahkan sebagian besar kota Bantul, termasuk desa di mana penulis tinggal. Karena rumah- rumah banyak yang hancur, termasuk juga gedung – gedung sekolah. Selain itu traumatik yang dialami warga terutama oleh anak-anak sangat kuat, dan butuh waktu yang tidak sebentar untuk memulihkan keyakinan mereka. 

Disini penulis bersama teman-teman penulis mencoba untuk mengobati traumatik anak-anak dengan mendirikan sebuah sanggar. Dimana sanggar ini kita gunakan untuk kegiatan – kegiatan anak- anak pasca terjadinya gempa bumi. Dalam sanggar ini, kami ada tempat bermain dan belajar sehingga mereka akan pelan-pelan melupakan kejadian tersebut, walaupun itu membutuhkan proses. Tapi ini jiwa Kartini yang melekat dihati penulis dan teman-teman penulis, bahwa kita harus selalu berusaha untuk selalu tabah dalam menghadapi cobaan. Dan itu yang harus kita tanamkan pada generasi kita selanjutnya. Agar bangsa ini menjadi besar dan maju.

E. Referensi

  1. http://chrissanta.wordpress.com
  2. http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini


Tidak ada komentar:

Posting Komentar